Rabu, 17 Maret 2010

Ujian Nasional, Renungan bagi para Guru ( A True story from a friend in Borneo)

#

oleh: Susiani Ilham

“Setiap dekat Ujian Nasional, aku pasti dimusuhi kawanan di sekolahan”, cerita Bu Halimah (bukan nama sebenarnya), seorang guru pada saya beberapa waktu yang lalu. Yah, bagaimana tidak akan dimusuhi, beliau tidak mau ‘membantu’ siswa. Hal yang lumrah, perlu ada guru ‘penjaga gawang’. Kalau siswa tidak ‘ditolong’, siswa tidak lulus ujian kan kasian.... Coba bayangkan seandainya yang tidak lulus itu adalah anak anda, bagaimana perasaan anda ? (seakan tidak lulus ujian adalah kiamat...).

Kemudian adik sepupu saya yang akan menempuh ujian nasional juga mengungkapkan bahwa sang guru pernah berujar, jika salah satu dari mereka lulus, maka yang lain juga harus lulus. Artinya harus ada ‘kerja sama’ yang baik di antara para peserta ujian.

Semoga ini terakhirnya kalinya membahas ujian nasional. Capekkk....

Dua kali menjadi pengawas ruang Ujian Nasional di tahun 2008 dan 2009, saya benar-benar mendapat pengalaman yang menyebalkan. Membuat air mata ini mengalir, stress. Intimidasi agar pengawas bersikap toleran. Bagaimana rasanya melihat kecurangan terjadi di depan mata, sedangkan kita tak boleh berbuat apa-apa selain diam seolah buta dan tuli? Bahkan tatapan mata saya terhadap kecurangan tersebut telah membuat petinggi sekolah memanggil semua pengawas dan mengingatkan akan ‘kesepakatan UN’ dan meminta pengawas mundur saja jika tak bisa taat pada kesepakatan.

Sebuah peribahasa yang sangat dekat dengan dunia pendidikan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apa jadinya? Lembaga pendidikan bahkan telah mengajari anak-anak untuk berbuat curang. Suram nian masa depan kalian.... Jangan salahkan jika mereka tak lagi menghargai gurunya. Jangan salahkan jika nanti besar mereka akan korupsi.

(untunglah saya belum punya anak. Andai sudah punya anak, mungkin saya akan memilih mendidik mereka sendiri, home schooling ketimbang mengirim mereka ke sekolah).

Bu Nailah (nama samaran), seorang guru yang lain juga pernah bertanya, mengapa usaha yang dilakukan seperti les bahkan salat hajat menjelang Ujian Nasional harus dinodai dengan kecurangan?
Wahai Bapak-bapak dan Ibu-ibu, (terutama Bapak dan Ibu Guru),

Apakah sebenarnya tujuan pendidikan?
Bayangkanlah suatu pagi, si kecil sedang bersiap-siap memasuki lingkungan baru. Saat menyiapkan bekalnya, saat mengantarnya ke sekolah pertama kali, apakah harapan yang kita sematkan pada sang buah hati tersayang? Sebuah harapan agar dia menjadi anak yang baik. Sebuah harapan agar dia menjadi orang yang berguna. Sebuah harapan agar dia menjadi tumpuan di hari tua. Sebuah harapan agar anak kita akan membawa kita ke surga.

Ujian adalah upaya untuk menilai dan mengevaluasi proses pendidikan. Apakah proses pendidikan telah mampu mencapai tujuan? Kira-kira nih, apakah nyambung dengan tujuan jika ujian hanya mengujikan beberapa mata pelajaran saja? Kelulusan hanya ditentukan dalam beberapa hari?
Bagaimana menghadapi ujian?

Mengubah sistem pendidikan mungkin memang tak mudah. Mengubah asas sekularisme-materialisme yang terlanjur mengakar kuat karena memang diwariskan dari sistem penjajahan memang perlu waktu. Namun, dalam kondisi saat ini, saat ujian sudah di depan mata, sangat perlu menyiapkan mental siswa dan siswi menghadapi ujian. Bukankah hidup sendiripun adalah ujian? Tak perlu merisaukan ujian, yang penting adalah bagaimana kesiapan menghadapinya.

Bu Shofa, seorang guru yang berdomisili di Barabai pernah bercerita pada saya tentang seorang siswa yang cerdas, pintar, peraih peringkat pertama tidak lulus Ujian Nasional karena saat Ujian Nasional tidak mau mencontek dan memberi contekan. Guru-guru dan teman-temannya menyalahkan dia. Namun, tidak banggakah kita padanya? Seorang anak yang saat ini sangat susah untuk mendapatkan anak sejujur dia. Saya sangat salut dengannya, juga orang tuanya yang telah menempa putranya sehingga teguh pendirian.

Sebagai guru, sudahkah kita menyiapkan anak-anak kita menghadapi UN dengan sebaik-baiknya? Tak cukup hanya membekali dengan latihan soal, tapi juga persiapan ruhiyah. Rubahlah paradigma berfikir mereka. Tak usah merisaukan hasil, selama kita telah berusaha dengan sebaik-baiknya. Bukankah yang diminta dari kita adalah usaha? Karena hasil adalah hak Allah. Lulus atau tidak adalah rezeki dari Allah.
Tim Pengawas Independen mungkin akan lebih memperketat pengawasan tahun ini. Sangat menyusahkan perguruan tinggi jika ternyata siswa-siswa yang lulus UN sebenarnya tak layak masuk kuliah. Kelulusannya dari UN hanya karena bantuan. Tapi, Tim Pengawas Independen adalah manusia juga, yang bisa lalai, lengah dan dikelabui. Ada Sang Maha Pengawas yang selalu mempertimbangkan sekecil apapun perbuatan kita.

Seperti yang diceritakan oleh Reda Ari Yanti,

Teriring doa untuk anak-anakku, siswa-siswi kelas XII SMAN 1 Tarakan
Semoga Allah meneguhkan kalian dalam kejujuran.

0 komentar:

Posting Komentar